BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki teritorial atau wilayah yang
sangat luas meliputi ribuan pulau - pulau (kecil maupun besar) sehingga negara
Indonesia disebut sebagai “Zamrud
Khatulistiwa”. Banyaknya kepulauan - kepulauan ini dapat memberikan variasi
budaya, adat-istiadat, bahasa pada setiap daerah atau kepulauan yang ada di
negara Indonesia. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang merupakan sebagai
bahasa nasional, sehingga negara Indonesia menjadi negara kesatuan.
Begitupun dengan bervariasinya budaya, sumber daya alam yang
ada pada negara Indonesia pun bervariasi yang dapat dimanfaatkan sebagai pusat atau
sumber energi. Sumber energi yang untuk memenuhi segala kebutuhan pasar global
(untuk kebutuhan negara lain (eksport) maupun kebutuhan lokal atau dalam negeri).
Kepulauan-kepulauan di Indonesia sendiri banyak mengandung sumber daya alam (SDA)
yang meliputi gas, minyak bumi, logam, batubara, dan lain-lain.
Sumber daya alam ini dapat bersifat menguntungkan dan
merugikan. Jika sumber daya alam ini disalahgunakan, maka sumber daya alam akan
berakibat fatal dan merugikan segala pihak, dan sebaliknya. Dan ini terjadi
pada bencana Lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo-Jawa Timur. Sumber daya alam (minyak
bumi dan gas) yang terjadi pada kasus lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo ini
bersifat merugikan yang dikarenakan adanya kesalahan prosedur saat pengeboran gas
dan minyak bumi. Lumpur Lapindo ini dapat mengakibatkan pengaruh yang berakibat
fatal pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Dampak terjadinya lumpur Lapindo
Brantas Sidoarjo-Jawa Timur ini mengakibatkan segala aktivitas – aktivitas baik
industri, pabrik, fasilitas-fasilitas umum dan sosial, dan lain-lain pada daerah lingkupan lumpur lapindo tersendat
atau terhenti.
Dalam hal ini pemerintah tidak dapat bertindak kecuali
melakukan suatu tinjauan untuk dapat memberikan intruksi atau perintah kepada
pihak yang bertanggung jawab agar lumpur lapindo brantas dapat diberhentikan. Jaminan
atau janji pemerintah dan pihak penanggung jawab dengan korban lumpur lapindo mengenai
ganti rugi dimana lahan yang telah terlewati dengan lumpur lapindo brantas masih
kurang memadai dalam segi kesejahteraan baik tempat tinggal, tempat ibadah,
gedung-gedung, sekolah atau pendidikan, pabrik-pabrik atau fasilitas-fasilitas
umum dan sosial lainnya yang masih belum terlihat mensejahterakan korban lumpur
Lapindo Brantas Sidoarjo sampai sekarang.
1.2. Tujuan
Dalam penulisan makalah ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana
kinerja pemerintah terhadap kasus lumpur yang dikhususkan pada kesejahteraan
umum bagi korban Lumpur Sidoarjo, Jawa Timur.
1.3. Batasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka pada
makalah ini ada pembatasan masalah yang ditujukan agar ruang lingkup penguraian
mengenai penulisan makalah dapat lebih jelas dan terarah. Batasan masalah dalam
makalah ini adalah :
1.
munculnya bencana Lumpur Lapindo Brantas
Sidoarjo – Jawa Timur
2.
membahas mengenai atensi pemerintah
mengenai kesejahteraan korban bencana Lumpur Lapindo Branstas Sidoarjo - Jawa
Timur, jika di lihat dalam segi kesejahteran umum
3.
mengetahui bagaimana kinerja pemerintah
dalam penanganan kasus bencana yang terjadi di Indonesia, khususnya pada Lumpur
Lapindo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kronologis Munculnya Lumpur Lapindo
Pada tanggal 29 Mei 2006 tepatnya pada hari Senin, lumpur
panas yang bersuhu 70˚C dengan membawa gas dan bau yang menyengat, menyembur di
Desa siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Titik sembur
yang berjarak sekitar 100 meter dari sumur Banjar Panji-1 milik PT Lapindo Brantas Inc.
Bencana ini disebabkan karena ulah perusahaan pengeboran
minyak dan dan gas Lapindo Brantas Inc (LBI). Menurut Syahdun, mekanik PT Tiga
Musim Jaya Mas, selaku kontraktor yang melakukan pengeboran mengatakan,
semburan gas disebabkan karena pecahnya formasi sumur pengeboran dari kedalaman
9.000 kaki atau 2.743 meter dari perut bumi. Ketika bor akan di angkat untuk
mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet dan gas tidak bisa keluar melalui
saluran fire pit dan gas menekan ke
samping (mencari celah keluar ke permukaan).
Ini diduga karena saat
penggalian lubang galian belum disumbat dengan cairan beton sebagai casing. Lubang yang menganga dikarenakan
adanya gempa bumi di Yogyakarta yang getarannya dirasakan sampai Sidoarjo,
Malang, dan Surabaya. Dalam prosedurnya lubang penggalian pada bagian atas
langsung di tutup beton. Namun, penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh
pekerjaan pengeboran selesai dan minyak mentahnya ditemukan (Banjir Lumpur Banjir Janji, Emha Ainun,
2007).
2.2. Tindakan Pemerintah Atas Bencana Lumpur Lapindo
Dari
kasus Lumpur di Sidoarjo, dapat dilihat bahwa pemerintah belum berhasil
memfungsikan hukum sebagai alat desak pertanggungjawaban atas bencana lumpur
panas Lapindo Brantas. Memang benar, hukum sudah dan sedang berlangsung dengan
menyeret sejumlah nama tersangka. Namun, kelayakan proses hukum itu patut
dipertanyakan. Sebenarnya yang lemah adalah kemampuan pemerintah bukanlah
hukum. Ini merupakan fenomena pemerintah yang tak berkemauan dan berkemampuan
untuk menggunakan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik dan pemeliharaan
kepentingan publik. Pemerintah terlihat tidak dapat mengelola dirinya sendiri
untuk bisa memfungsikan pengelolaan bencana secara terpadu, efisien, cepat,
sigap, dan efektif (Banjir Lumpur Banjir Janji,
Emha Ainun, 2007).
2.3. Atensi Pemerintah Terhadap Kasus
Lumpur
Semburan dan luberan lumpur panas
di lokasi penambangan yang terjadi di Porong ini, tak kunjung tertangani secara
tuntas. Janji-janji untuk relokasi dan pemberian ganti rugi atas kerugian warga
yang kehilangan rumah dan pengusaha-pengusaha yang kehilangan usahanya belum
juga terealisasi. Disinilah kasus yang
paling kasat mata tentang terabaikannya kesejahteraan rakyat. Demi sebuah
keuntungan sepihak, pihak lain harus menjadi korbannya. Dan mutatis mutandis, hal ini berlaku untuk
hampir setiap perkara yang menyentuh kepentingan penguasa dan oknum pengusaha
yang sedang berkuasa. Warga atau korban telah kecewa kepada penguasa
(pemerintah) dan pihak-pihak yang terkait karena penguasa hanyalah memihak
mereka yang berduit daripada rakyat yang terjepit.
Para
korban lumpur pun mendesak agar pemerintah dan aparat hukum, menuntut PT.
Lapindo Brantas Inc untuk mempertanggungjawabkan kasus ini, baik secara hukum,
ekonomi, maupun sosial. Warga tidak
menginginkan persoalan ini menjadi berlarut-larut dan mendatangkan kerugian
serta korban yang lebih besar lagi (Banjir Lumpur
Banjir Janji, Emha Ainun, 2007).
BAB III
PERMASALAHAN
3.1. Lumpur Lapindo Sebagai Bencana
yang Tak Kunjung Terhentikan
Bencana Lumpur Sidoarjo
adalah sebuah kasus yang sangat kompleks, karena mulai dari permasalahan mekanisme pemicunya telah terjadi perdebatan
yang sangat sengit, apakah dipicu
oleh aktivitas pemboran pada sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1, ataukah dipicu pasca gempa bumi Yogyakarta 2 hari
sebelumnya.
Bencana lumpur lapindo
ini bukan hanya permasalahan teknis belaka, dimana telah berkembang menjadi semakin kompleks karena hubungannya dengan
perihal ekonomi dan politik. Lapindo
Brantas Inc. yang bertindak sebagai operator eksplorasi gas pada Blok Brantas adalah perusahaan yang mayoritas
sahamnya dimiliki oleh Bakrie
Brothers. Aburizal Bakrie yang duduk sebagai Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan SBY, adalah
figur sentral di Bakrie Brothers.
Keberadaan Ical dalam kabinet membuat pemerintah berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi terlihat ingin menolong para
korban lumpur lapindo, tetapi di
sisi lain terlihat tidak ingin merugikan Lapindo Brantas Inc.
Korban akan meningkat
menuju tak terhingga manakala aspek degradasi lingkungan dan kondisi mental survivors
menjadi salah dua variabel yang dihitung (Disastrum
Journal, Batubara Bosman, dkk, 2009).
3.2. Kesejahteraan Korban Lumpur yang Terabaikan
Sejak peristiwa semburan
lumpur panas terjadi dan seiring berjalannya waktu, lumpur panas ini kian
membesar di sekitar Sidoarjo. Tidak mengherankan dalam sehari sedikitnya
sekitar 50.000 metrik ton lumpur panas keluar dari perut bumi, menurut pakar.
Jika dalam hitungan awam, sekitar 10.200 truk dalam kapasitas truk empat meter
kubik lumpur panas keluar. Jumlah korban pun semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya luasan genangan lumpur lapindo.
Semua warga yang menjadi
korban diungsikan ke tempat pengungsian. Di tempat pengungsian pun mereka merasa
tidak nyaman dan jenuh, karena segala aspek kebutuhan pribadi mereka tidak
terpenuhi. Dan ini memicu korban untuk meminta dana santunan per bulan dan uang
sewa kontrakan rumah agar mereka dapat hidup normal pada umumnya (Banjir Lumpur Banjir Janji, Emha Ainun,
2007).
Tragedi Lumpur Lapindo ini menjadi suatu tragedi ketika banjir
lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk, dan
kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur yang meluber ke segala
arah dengan cepat. Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar
biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman, total warga
yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa, tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683
unit, areal pertanian dan
perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha, lebih dari 15 pabrik yang tergenang
menghentikan aktivitas produksi dan pabrik-pabrik atau industri-industri
merumahkan lebih dari 1.873 orang, tidak berfungsinya sarana pendidikan,
kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi, rusaknya sarana dan prasarana
infrastruktur (jaringan listrik dan telepon), terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya-Banyuwangi
yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto)
dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di
Jawa Timur. Dimana pencemaran lingkungan
ini terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup.
Lumpur pun berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang menjadi
korban. Kandungan logam berat seperti air raksa (Hg), misalnya, mencapai 2,565
mg/liter Hg. Padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan
infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit, dan kanker. Kandungan fenol bisa
menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis),
jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak
sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari
tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah,
terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian,
dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Perpecahan
warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh
Lapindo (tragedi lumpur lapindo, agorsiloku,
2006).
3.3. Ketidakjelasan Penyebab Utama
Munculnya Semburan
Ada tiga aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas
tersebut. Pertama,
adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa
tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat
yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah
gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan
sedimen. Namun, hal itu dibantah
oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran sesar
opak tidak berhubungan dengan Surabaya. Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada
lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada
kedalaman 2.000 sampai 6.000 kaki. Kesalahan
prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian yang belum sempat
disumbat dengan cairan beton sebagai casing. Hal itu di akui bahwa semburan gas
Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan desain
awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing13 sampai
inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor
lapisan bumi dari kedalaman 3580 sampai 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9 sampai
inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona
bertekanan tinggi yang menyebabkan kick,
yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur
standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera
dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan
mematikan kick. Namun,
dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur.
Jika hal itu benar, maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang
berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu
perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas
bumi. Saat ini Lapindo memiliki
50 persen participating interest di
wilayah Blok Brantas, Jawa Timur. Dalam kasus semburan lumpur panas ini,
Lapindo diduga sengaja menghemat biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari
perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang
dikeluarkan Lapindo.
Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau
eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil atau production
sharing contract (PSC) dari
pemerintah, dimana sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumber daya alam.
Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini.
Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi
neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Pada hasilnya, seluruh potensi tambang migas dan sumber daya alam
(SDA) dijual kepada swasta atau individu (corporate based). Orientasi
profit an sich yang menjadi paradigma
korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut
kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana
ekosistem (Pembahasan
Masalah Kasus Lumpur, Aslan, 2010).
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Lemahnya Pemerintah Terhadap Kasus Lumpur
Sidoarjo
Ada tiga hal yang mendasari
interpelasi penting bagi rakyat dan negara. Pertama, pemerintah tidak serius
membela rakyat dan terkesan membiarkan rakyat tenggelam dalam penderitaan. Dengan
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah melegitimasi ketidakadilan
dari kuasa kapital, rakyat korban lapindo di paksa menerima 20 persen
pembayaran transaksi jual-beli harta dan ini dipayungi oleh hukum buatan
pemerintah. Ini merupakan pemihakan nyata pemerintah kepada kuasa kapital.
Kedua, kerugian negara atas luapan
lumpur lapindo yang telah merusak dan menenggelamkan infrastruktur dan
mengganggu perekonomian Jawa Timur dan nasional. Kerugian juga ditimbulkan oleh
Perpres 14/2007, dimana yang membebankan sebagian besar biaya penanggulangan
ditanggung oleh negara. Ketiga, kasus lumpur menegaskan pemerintah tidak serius
menegakkan hukum. Amat mengherankan pemerintah tidak menyeret pihak-pihak yang
jelas merugikan rakyat dan negara ke pengadilan.
Berdasarkan tiga hal itu,
pemerintah terlihat mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara serta lebih
mengutamakan kepentingan kuasa kapital. Karena itu, pengajuan hak interpelasi
menjadi urgen, sebagaimana di atur dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,
yaitu hak untuk meminta keterangaan
pemerintah tentang kebijakan penting dan strategis serta berdampak negatif yang
meluas pada kehidupan masyarakat dan negara (Banjir Lumpur Banjir Janji, Emha Ainun Nadjid, 2007).
Kekalahan negara dalam kasus Lapindo itu
sebenarnya sudah terlihat sejak awal munculnya kasus lumpur Lapindo. Beberapa
keputusan pemerintah yang di anggap merugikan Lapindo sering kali dengan mudah
diabaikan. Keputusan-keputusan yang merupakan hasil rapat pada 28 Desember
2006, misalnya, Presiden memerintahkan Lapindo menuntaskan tanggung jawab
penanganan lumpur panas dengan kewajiban menanggung biaya penanggulangan lumpur
sebesar Rp 1,3 triliun. Selain itu, Lapindo harus membayar kompensasi berupa
ganti rugi lahan sawah dan rumah rakyat mulai awal Maret 2007.Total kerugian
rakyat yang diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun pun harus sudah dibayar 20
persen oleh Lapindo (Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, Ali
Azhar Akbar, 2007).
Jangankan memenuhi keputusan tersebut,
Lapindo justru mengklaim telah mengeluarkan dana untuk mengatasi dampak sosial
lebih dari US$ 15 juta. Celakanya, pemerintah SBY-JK menuruti klaim Lapindo
tersebut. Bahkan akhirnya pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2007,
yang merupakan payung hukum bagi Lapindo untuk mendapatkan
kemenangan-kemenangan berikutnya.
Pada tanggal 26 September 2011,
pemerintah kembali memberi perhatian terhadap penanganan luapan lumpur lapindo
di Sidoarjo - Jawa Timur, dengan membahasnya dalam rapat kabinet terbatas yang
dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Kepresidenan,
Jakarta. Presiden berjanji untuk meninjau kembali kebijakan pemerintah selama
lima tahun terakhir dalam menangani kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo -
Jawa Timur.
Pemerintah pusat dan daerah sudah
bekerja untuk mengatasi masalah lumpur Lapindo ini. Dalam pengantarnya sebelum
rapat, Presiden mengatakan pemerintah harus memikirkan penyelesaian luapan
lumpur di Sidoarjo untuk jangka menengah dan panjang. Pemberian bantuan ekonomi
dan sosial dilakukan oleh PT. Lapindo yang menyebabkan semburan lumpur. Pemerintah
dengan persetujuan DPR akan melakukan pembangunan infrastruktur untuk menunjang
kehidupan masyarakat yang terkena dampak lumpur lapindo. Presiden juga menyampaikan,
sampai saat ini semburan lumpur memang belum bisa dihentikan meski pemerintah
sudah mendatangkan berbagai macam ahli. Menurut Presiden “Apa yang telah kita
lakukan ini dalam tahap tertentu bisa mengatasi masalah meski belum rampung.
Kita tinjau kembali apa yang dilakukan perbaikan, agar permasalahan tuntas”.
SBY mengklaim selama ini pemerintahannya tidak menelantarkan korban lumpur
Lapindo. Pemerintah telah membuka komunikasi kepada masyarakat dan persoalannya
masyarakat kerap memiliki keinginan sendiri yang berbeda-beda dalam menuntaskan
bencana lumpur tersebut.
Pemerintah sangat serius dalam menangani masalah lumpur
Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pemasalahan yang kembali terjadi baru-baru ini
telah mendapat perhatian khusus pemerintah. Tim diterjunkan untuk melakukan
penilaian sehingga bisa di ambil langkah yang tepat.
Sebelumnya, pemerintah memastikan penduduk 3 desa yang wilayahnya telah
dikosongkan untuk jalur pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong-Sidoarjo
akan mendapatkan ganti rugi yang akan dibayar pada tahun 2012. Kepastian itu
disampaikan oleh Gubernur Jatim Soekarwo setelah rapat yang dipimpin oleh
Presiden SBY di Istana Negara, Jakarta, Selasa (20/09), yang membahas soal
penanganan luapan lumpur tersebut. Rapat itu juga dihadiri oleh Wakil Presiden
Boediono, Menko Perekonomian Hatta Radjasa, Menko Kesejahteraan Rakyat Agung
Laksono, dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.
Gubernur Soekarwo mengatakan, ia
segera melakukan pendekatan kepada warga penduduk 3 desa tersebut dan memberi
pengertian kepada penduduk yang telah mengosongkan rumah mereka itu bahwa ganti
rugi tanah mereka akan dilunasi pada awal 2012. Pendekatan kepada warga pun
akan dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Wakil Presiden
Boediono yang akan bertemu langsung dengan masyarakat (www.politikindonesia.com).
4.3. Pemerintah Bahas Lagi Penanganan Lumpur Lapindo
Menurut
Presiden, wilayah yang terkena luapan lumpur itu seharusnya dapat diberdayakan
untuk kegiatan seperti wisata lokal, penelitian, atau pun aktivitas lainnya.
Pekerjaan lain yang juga pemerintah lakukan
sesungguhnya adalah mengembangkan sebetulnya wilayah itu yang terkena dampak
dari luapan lumpur Sidoarjo itu, sehingga bisa digunakan untuk kepentingan
lainnya.
Selama
ini menurut Presiden, pemerintah dalam menangani luapan lumpur di Sidoarjo
melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah menempuh beberapa
kebijakan guna mengatasi luapan lumpur, sekaligus mencegah terjadinya luapan
lumpur baru yang pasti memberikan dampak negatif kepada masyarakat sekitar.
Selain itu, pemerintah juga telah mengusahakan ganti
rugi dan kewajiban finansial lain kepada warga Sidoarjo yang menjadi korban
luapan lumpur melalui mekanisme pembayaran yang dilakukan oleh PT Lapindo
Brantas. Selanjutnya, memastikan bahwa infrastruktur di sekitar daerah luapan
lumpur bisa berfungsi kembali sehingga tidak menggangu kegiatan ekonomi lokal (Sidoarjo)
dan khususnya di Jawa Timur. Presiden pun
menegaskan dalam pengantarnya bahwa penanganan luapan lumpur di Sidoarjo tidak
boleh merugikan masyarakat (www.antaranews.com).
4.4. Kesejahteraan Umum Sebagai Tumbal
Dalam mengupayakan benefit yang maksimal
bagi pihak-pihak yang terkait, dan pihak yang sedang dirugikan. Dalam bahasa
yang sederhana, sebuah keputusan tidak mungkin dapat memuaskan semua pihak.
Pihak yang tidak puas yang dalam keputusan yang semestinya berjumlah sedikit.
Bukan kerugian atau biaya yang mesti ditanggung pihak yang tidak puas. Dalam
kasus lumpur, biaya yang dipikul oleh pihak yang tidak puas dan ini tidak dapat
dikesampingkan. Biaya itu tidak berupa human
rights (hak-hak manusia) melainkan sudah basic human rights (hak asasi manusia). Hak untuk memiliki (properti rights) telah dirampas ketika
penduduk harus meninggalkan rumah dan harta benda. Hak untuk memiliki kebebasan
(liberty) mencari nafkah telah
ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja karena lahan terendam
, pabrik tenggelam dan bangkrut terkena semburan lumpur. Hak hidup (rights to live) telah terampas dengan
jatuhnya korban.
Mewujudkan kesejahteraan sosial
merupakan tanggung jawab semua elemen dalam masyarakat. Namun, pemerintah
daerah memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial. Pemerintah daerah dihadapkan dengan problem yang tidak hanya kompleks
tetapi juga memerlukan solusi yang mendesak untuk dilakukan agar masyarakat
dapat keluar dari kesulitan-kesulitan yang dialaminya. Dalam hal ini pemerintah
harus memiliki strategi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat.
Agar bias menyelesaikan persoalan tersebut, pemerintah juga harus memahami akar
persoalan di masyarakat, mengerti aspirasi rakyat serta menemukan formulasi
yang relevan untuk menghadapi persoalan sosial tersebut (Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Chairun Nasirin, 2010).
Sudah menjadi tugas negara dalam
hal ini adalah pemerintah, untuk menjamin adanya kehidupan yang nyaman, aman,
dan tentram serta memajukan kesejahteraaan umum rakyatnya. Yang terjadi
sekarang ini adalah tercabutnya hak asasi masyarakat Sidoarjo secara
besar-besaran. Yang terjadi tidak hanya hilangnya hak untuk memiliki atau harta
benda dan kebebasan untuk mencari nafkah tetapi juga hak hidup karena lumpur
sudah memakan korban. Dengan segala kewenangan dan perlengkapan yang
dimilikinya pemerintah tentu dapat mempercepat penanggulangan dampak lumpur.
Selain itu, jika pemerintah serius, bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) jangan
dibiarkan sendiri. Tentu tidak diharapkan jika tim nasional menjadi konsumsi
politik yang akhirnya hanya menguburkan tentang siapa yang sesungguhnya harus
bertanggung jawab (Banjir Lumpur Banjir
Janji, Emha Ainun, 2007).
4.5. Keberpihakan
Pemerintah dan Akibatnya
Keadilan merupakan keadilan yang
berhubungan dengan pembagian nikmat dan beban suatu kerja sama sosial khususnya
negara. Prinsip keadilan sosial menurut Rawls dan Habernas bersependapat bahwa
pengaturan masyarakat pluralitik modern itu tidak boleh didasarkan atas suatu
anutan nilai hidup tertentu, melainkan haruslah dikendalikan oleh prinsip yang
menjamin dan mengeskpresikan kepentingan bersama (Keadilan Sosial, Bur Rasuanto, 2005).
Pada kasus lumpur Lapindo Sidoarjo
ini terlihat bahwa keadilan tidak dapat ditegakkan dimana penguasa (pemerintah)
keberpihakannya ke golongan orang-orang yang memiliki rupiah yang sangat banyak
ketimbang orang-orang miskin. Sangat disayangkan, karena hanya pemerintahlah
rakyat korban lumpur ini berharap untuk merubah segala aspek kebutuhan atas
kesejahteraan yang telah direnggut oleh lubernya lumpur Sidoarjo ini, kecuali
pasrah terhadap yang diatas. Dan ini akan menambah masalah pengangguran dan
kemiskinan yang ada di Indonesia, khususnya di Sidoarjo.
Kemiskinan merupakan masalah
multidimensi yang penangannya membutuhkan keterkaitan berbagai pihak.
Kemiskinan di Indonesia di iringi oleh masalah kesenjangan baik antar golongan
penduduk maupun pembangunan antar wilayah yang diantaranya ditunjukkan oleh
buruknya kondisi pendidikan dan kesehatan serta rendahnya tingkat pendapatan
dan daya beli, sebagaimana tercermin dari rendahnya angka Indeks pembangunan
Manusia (IPM). Penduduk dikategorikan miskin, jika memiliki pendapatan berada
dibawah garis kemiskinan yang dijadikan sebagai ukuran resmi kondisi kemiskinan
di indonesia. Upaya Penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk membebaskan dan
melindungi masyarakat dari kemiskinan beserta segala penyebabnya. Upaya yang
dimaksud tidak hanya di arahkan untuk mengatasi ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar tetapi juga dalam rangka membangun semangat dan kemandirian
masyarakat miskin untuk berpartisipasi sepenuhya sebagai pelaku dalam berbagai
tahap pembangunan. Penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemberdaya secara
terfokus sekaligus dapat menghindari penggunaan dana pemerintah untuk kegiatan
yang tidak produktif. (Mewujudkan
Kesejahteraan Bangsa, Gunawan Sumodiningrat).
Orang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, dan perumahan, ini lazim disebut
miskin. Maka upaya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan berisi
program-program yang dapat meningkatkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan
dasar tersebut. Dalam pidato (31 januari 2007) Presiden menyampaikan bahwa akan
menekankan pentingnya masalah kemiskinan. Pidato tersebut menegaskan perihal
keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan. Mengamati berbagai
dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan, pemerintah memiliki peran yang besar
dalam mengatasi kemiskinan (Politik dan
Kemiskinan, Sarwano Kusumaatmadja, 2007).
Secara historis dan sosial ekonomi
keberadaan BUMN tentunya inheren dengan tujuan dari kesejahteraan negara yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan sosial sebagai kondisi
sejahtera (social welfare) adalah
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Menurut
Midgley, et al (2000:xi) kesejahteraan sosial sebagai “a condition or state of human
well-being”. Kondisi sejahtera terjadi tatkala kehidupan manusia aman dan
bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat
tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi serta manakala manusia memperoleh
perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya (Negara, BUMN dan kesejahteraan Rakyat, Fahriz
Hamzah, 2007).
BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Pada makalah yang telah di tulis ini dapat ditarik
kesimpulan, antara lain :
1.
Semburan lumpur Lapindo terjadi karena
ada beberapa aspek yang belum tentu kepastiannya yang benar sebagai akibat
munculnya lumpur. Dan ini akan mengakibatkan tidak akan cepat terselesaikannya
pada kasus lumpur dan dengan siapa yang akan menanggung jawabkannya pun tidak
ada.
2.
Kesejahteraan rakyat korban lumpur
Lapindo Brantas masih belum terpenuhi, baik kesejahteraan kehidupan pada umumnya
seperti, basic
human rights (hak asasi manusia), hak untuk memiliki
(properti rights) telah terampas
ketika penduduk harus meninggalkan rumah dan harta benda, hak untuk memiliki
kebebasan (liberty) mencari nafkah
telah ditindas tatkala para buruh dan petani tidak dapat bekerja karena lahan
terendam , pabrik tenggelam dan bangkrut terkena semburan lumpur, hak hidup (rights to live) telah terampas dengan
jatuhnya korban.
3.
Pemerintah belum
bisa berhasil memfungsikan hukum sebagai alat desak pertanggungjawaban atas
bencana lumpur panas Lapindo Brantas. Pemerintah pusat dan daerah sudah bekerja
untuk mengatasi masalah lumpur Lapindo ini. Pada tanggal 26 September 2011,
pemerintah kembali memberi perhatian terhadap penanganan luapan lumpur lapindo
di Sidoarjo - Jawa Timur, dengan membahasnya dalam rapat kabinet.
5.2. SARAN
Untuk membuat makalah ini menjadi suatu
tulisan yang layak untuk dibaca khalayak ramai,
khususnya mahasiswa Politeknik Negeri Malang. Diharapkan ada kelengkapan
sumber-sumber atau referensi buku pada perpustakaan di Politeknik Negeri
Malang. Dimana untuk menambah sumber agar makalah ini layak sebagai bacaan
dimana untuk dapat mengetahui bahasan tulisan makalah yang dibahas ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bosman, Batubara, dkk.
2009. Disastrum Journal
Ainun, Emha. 2007. Banjir Lumpur Banjir Janji. Jakarta :
KompasHamzah, Fahriz. 2007. Negara, BUMN
dan kesejahteraan Rakyat . yayasan faham Indonesia
Kusumaatmadja, Sarwano.
2007 . Politik dan Kemiskinan . Depok
: Koekoesan
Sumodiningrat, Gunawan . Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa .
Jakarta : Elex Media Komputindo
Nasirin, Chairun. 2010 . Mewujudkan Kesejahteraan Sosial . Malang
: Indopress
Rasuanto, Bur . 2005 . Keadilan Sosial . Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama